RSS

Halaman

MINUM JAMU SEBAGAI TRADISI OBAT-OBATAN TRADISIONAL DI INDONESIA




 Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Saat ini, obat tradisional banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak menyebabkan efek samping dan masih bisa dicerna oleh tubuh. Karena itu, banyak perusahaan yang mengolah obat-obatan tradisional yang telah dimodifikasi. Obat-obatan tradisional yang banyak dijual di pasar biasanya berbentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia, dan tablet.
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terapkan. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasinya penduduknya menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalan usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu seperti kanker, dan meluasnya akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, saat ini tercatat 40% penduduk menggunakan pengobatan tradisional dan 70% berada di pedesaan.
WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional, termasuk herbal, dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis dan penyakit degeneratif. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern karena memiliki efek samping yang relatif lebih rendah daripada obat modern.
A.    Ketepatan Penggunaan Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, bahan sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan.

B.     Mengenal Tiga Jenis Obat Tradisional

Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai tanggung jawab dalam oeredaran obat tradisional di masyarakat. Obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat ekstrak (herbal), dan fitofarmaka.
Karena keunggulannya, tanaman diterima sebagai obat alternatif, bahkan secara resmi dianjurkan praktisi di dunia kesehatan. Pada pertengahan bulan Juli 2000, Menteri Kesehatan RI mengeluarkan imbauan agar dokter menggunakan obat asli Indonesia berupa obat tradisional yang terbuat dari racikan beberapa tanaman obat.

B.1. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)
Jamu adalah obat yang diolah secara tradisional, baik dalam bentuk serbuk, seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bagian tanaman. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan resep peninggalan leluhur yang diracik dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 5-10 macam bahkan lebih. Jamu yang telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk pengobatan suatu penyakit.

B.2. Bahan Ekstrak Alami (Scientific Based Herbal Medicine)
Bahan ekstrak alami adalah obat tradisional yang dibuat dari ekstrak atau penyarian bahan alami yang dapat berupa tanaman obat, binatang maupun mineral. Jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian praklinis seperti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis, serta uji toksisitas akut dan kronis. Sayangnya, perkembangan obat ekstrak belum diiringi dengan penelitian sampai dengan uji klinis, tetapi hanya melewati uji praklinis. Bahan ekstrak alami disebut juga obat herbal. Produk bahan ekstrak alami atau herbal ini memiliki tanda khusus berupa tanda tiga buah bintang dalam lingkaran berwarna hijau.
Obat-obatan herbal ini sudah distandardisasi sesuai dengan peraturan pembuatan obat-obatan. Pembuatannya disesuaikan dengan pembuatan obat secara modern sehingga lebih higienis. Obat-obatan herbal ini sudah banyak beredar dan dikenal masyarakat, beberapa contoh diantaranya yaitu Diapet (PT Soho Industri Farmasi, Jakarta), Fitolac (PT Kimia Farma, Jakarta), Kiranti Sehat (PT Ultra Prima Abadi, Surabaya), dsb.

B.3. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)
Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alami yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah distandardisasi serta ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan
uji klinis pada manusia. Produk-produk fitofarmaka memiliki ciri berupa gambar berbentuk seperti ranting dalam lingkaran berwarna hijau. Beberapa contoh produknya yaitu Stimuno (PT Dexa Medica, Palembang), Tensigard (PT Phapros, Semarang), dsb.
C. Keamanan Obat Tradisional
Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak yang mengandalkan obat tradisional untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Namun, tidak semua obat tradisional itu benar-benar dari bahan-bahan alami.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pernah menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional. Berbagai bahan kimia obat keras yang pernah ditemukan BPOM, di antaranya fenilbutazon, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol. Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran pecinta obat-obat tradisional, karena bahan kimia tersebut dapat membahayakan kesehatan, bahkan mematikan.
Gangguan yang timbul pada tubuh akibat bahan kimia tersebut bisa bermacam-macam. Bahan kimia metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, perdarahan lambung, dan gangguan saraf. Fenilbutason dapat menyebabkan rasa mual, ruam kulit, retensi cairan, dan gagal ginjal. Deksametason dapat menyebabkan trombositopenia, anemia plastis, dan gangguan fungsi ginjal. Sibutramin hidroklorida dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Karena itu, pemakaian obat keras harus melalui pengawasan dan resep dokter. Dibawah ini ialah hal-hal yang harus diperhatikan saat menggunakan
obat-obatan tradisional.
C.1. Reaksi dan Dosis Obat Tradisional
Salah satu prinsip kerja obat tradisonal adalah proses (reaksinya) yang lambat (namun bersifat konstruktif), tidak seperti obat kimia yang bisa langsung bereaksi (tapi bersifat destruktif). Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa aktif. Obat tradisional berasal dari bagian tanaman obat yang diiris, dikeringkan, dan dihancurkan. Jika ingin mendapatkan senyawa yang dapat digunakan secara aman, tanaman obat harus melalui proses ekstraksi, kemudian dipisahkan, dimurnikan secara fisik dan kimiawi (di-fraksinasi). Tentu saja proses tersebut membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang sangat banyak. Misalnya, dari satu ton daun sambiloto yang diekstrak, baru bisa didapat bahan aktif.
Karena itu, jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisonal diminum, konsumen layak curiga karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada obat-obatan tradisonal yang diberi obat-obat kimia tadi. Tanpa penelitian, dimasukkan begitu saja sehingga menjadi berbahaya karena dosisnya tidak diketahui dan tanpa pengawasan dokter. Jamu dikamuflasekan sebagai kemasan, sedangkan isinya ternyata bahan kimia!
Jika melebihi dosisnya, bahan kimia dapat merusak organ vital. Dosis jamu biasanya tertera pada kemasan, kecuali jamu gendong. Selain itu, dosis sebenarnya juga tidak sembarangan ditentukan. Penentuan dosis minimal harus melalui penelitian praklinis (uji coba ke hewan) agar khasiat yang diharapkan tepat. Dosis juga dapat diartikan jangan sampai melebih toksisitasnya. Misalnya, dosisnya satu sachet sehari dan jika lebih dari satu sachet, sudah melampaui batas yang ditentukan.
C.2. Penanganan Pascapanen yang Tepat
Selain bahan kimia, hal yang harus diperhatikan adalah faktor penanganan pascapanen. Cara mencuci, mengeringkan, dan menyimpan tanaman obat sampai menjadi jamu atau produk tertentu, seperti kapsul atau minuman instan, sangat berpengaruh. Jika tidak benar, mikroba dan aflatoksin jamur justru bisa berakumulasi di dalam tubuh dan berbahaya bagi tubuh. Penanganan pascapanen harus berdasarkan standar yang benar, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI). Begitu pula dengan cara mengeringkan dan menyimpan, juga tak boleh dianggap remeh. Jika tanaman sudah lembap, bukannya mengobati atau mencegah malah akan membuat sakit.
C.3. Tanggal Kadaluarsa
Memang sulit untuk mengetahui ada tidaknya kandungan bahan kimia dalam produk jamu secara kasat mata sehingga harus melewati penelitian. Namun, untuk mengetahui apakah obat tradisional masih bagus (layak konsumsi) atau tidak, bisa dilakukan. Misalnya, pada jamu yang memiliki tanggal kadaluarsa dan ciri fisik tertentu. Serbuk jamu yang bagus biasanya kering dan tidak lembap. Minum jamu sebaiknya juga jangan sampai menjadi ketergantungan. Meskipun sifatnya lebih untuk pencegahan atau pengobatan, sebaiknya jangan setiap hari dikonsumsi. Berikan selang waktu, misalnya minum dua hari sekali.
D. Obat Herbal
Herbal adalah sebutan untuk sebagian atau seluruh tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat. Khasiat tanaman ini diketahui baik dari pengetahuan secara turun temurun, pengalaman dari para pengguna tanaman tersebut, sampai hasil penelitian dan bukti-bukti ilmiah. Kandungan zat aktifnya seimbang sehingga bersifat sinergis (saling mendukung) dalam tubuh.
Dari literatur yang sudah ada, sesungguhnya herbal Indonesia sangat potensial mengatasi aneka macam penyakit terutama bila benar cara pengolahannya, tepat cara penggunaan maupun dosisnya dan selalu dilakukan pemantauan untuk mengetahui proses kesembuhannya. Sinergi pengalaman empiris dan penelitian ilmiah tentang khasiat dan manfaat herbal akan menjadi bukti yang kuat keberhasilan obat herbal yang relatif kecil efek sampingnya. Hal ini akan meningkatkan pula kepercayaan masyarakat untuk tidak ragu lagi menggunakan warisan nenek moyang, yakni obat herbal.
“Kandungan ilmiah” dari suatu herbal dan jamu akan menentukan kelas dari herbal dan jamu tersebut, apakah tergolong jamu, herbal terstandar, atau fitofarmaka.
Sebagian besar obat herbal yang beredar di Indonesia izin edarnya menggunakan identitas jamu dan sertifikat TR (TRadisional). Untuk produsen jamu skala kecil biasanya hanya menggunakan izin dari Dinas Kesehatan masing-masing wilayah Kotamadya atau Kabupaten dengan Sertifikat Penyuluhan Industri Rumah Tangga (SP-IRT). Meski sesungguhnya izin SP-IRT hanya untuk produk makanan dan minuman yang tidak mencantumkan khasiat.
D.1. Keunggulan Obat Herbal
  • Jika penggunaannya benar, obat tradisional atau tanaman obat tidak memiliki efek samping. Kalaupun ada, efek sampingnya relatif kecil. Hal ini karena tanaman obat dan tubuh manusia memiliki sifat yang sama, yakni organis dan kompleks. Karena itu, tanaman obat dapat disetarakan dengan makanan. Tanaman obat memiliki suatu mekanisme yang dapat menangkal dan menetralkan efek samping obat tradisional yang dikenal dengan istilah SEES (Side Effect Eleminating Subtanted).
  • Tanaman obat sangat efektif untuk penyakit yang sulit disembuhkan dengan obat kimia, seperti kanker, tumor, darah tinggi, darah rendah, diabetes, hepatitis, dan stroke.
  • Harganya murah, bahkan tidak memakan biaya sama sekali karena bisa ditanam sendiri. Harga tanaman obat menjadi mahal jika dikemas dalam bentuk isolat, yakni senyawa tertentu yang diperoleh dalam bentuk ekstrak tanaman. Misalnya, Vincristin, yakni obat kanker dari ekstrak tanaman tapak dara (Catharanthus Roseus).
  • Jika hasil diagnosis sudah jelas, pengobatan dan perawatan umumnya dapat dilakukan oleh anggota keluarga sendiri tanpa bantuan medis dan sarana laboratoriumnya.
  • Merupakan gabungan seluruh bahan aktif yang terdapat pada satu atau beberapa tanaman obat.
  • Efeknya lambat, tetapi bersifat stimulan dan konstruktif. Obat herbal kapsul yang dikonsumsi, efeknya baru bisa terasa beberapa hari kemudian (bisa sampai 10 hari kemudian)***. Bahkan untuk penyakit sedang/berat atau menetap/menahun hasilnya mungkin baru bisa terlihat 1-6 bulan kemudian***. Walau perlahan tapi sifatnya konstruktif, misal organ tubuh terkait diperbaiki & diremajakan.
    ***Catatan: Dikonsumsi secara teratur (konstan) dengan dosis yang sesuai petunjuk.
D.2. Kelemahan Obat Herbal
  • Efek farmakologisnya lemah.
  • Bahan baku obat belum standar.
  • Bersifat higroskopis. Suatu zat disebut higroskopis jika zat tersebut mempunyai kemampuan menyerap molekul air yang baik. Contohnya madu, gliserin, etanol, metanol, asam sulfat pekat, dan natrium hidroklorida pekat (soda kaustik). Zat yang sangat higroskopis akan larut dalam molekul-molekul air yang diserapnya sehingga mudah rusak.
  • Umumnya, pengujian bahan-bahan pengobatan tradisional belum sampai tahap uji klinis.
  • Mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme.








  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar