A. Hazard Psikologi
Setiap aktivitas normal akan membeuahkan stress, dan stress tak dapat dihindari. Stress hanya dapat ditoleransi dalam waktu yang terbatas. Oleh karena tidak ada dua individu yang benar-benar identik, maka stress yang sama tidak akan memiliki pengaruh yang serupa pada masing-masing individu, dan intensitasnya juga sangat bervariasi (Ridwan Harrianto, 2010).
Hubungan antara masing-masing perubahan patologis seorang individu tidak banyak diketahui secara menditail, tetapi kebanyakan peneliti mengakui bahwa rangsangan psikologis (stresor) termasuk stress akibat pekerjaan meruapakan faktor pemicu yang penting untuk timbulnya suatu penyakit tertentu, seperti jantung iskemik, hipertensi esensial dll.
Peranan faktor psikologis pun menjadi jelas setelah terdapat penelitian lain membuktikan adanya beberapa stresor psikologis yang bermakna sebagai penyebab terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh jantung, seperti :
1. Perubahan jenis pekerjaan
2. Perubahan besar-besaran pada jadwal kerja
3. Perubahan tingkat tanggung jawab
4. Ketidaksesuaian dengan atasan
5. Ketidaksesuaian dengan teman-teman sekerja
Ø Stresor Psikologis
Pekerjaan sendiri tidak selalu sebagai satu-satunya sumber penyebab gangguan psikologis, tetapi dapat mempengaruhi status kerentanan individu terhadap kegagalan tertentu dilingkungan pekerjaan yang penuh dengan stresor fisik, emosional, dan mental. Stresor fisik ditempat kerja, seperti bising, penerangan yang kurang memadai, temperatur ruang yang terlalu tinggi,serta bahaya-bahaya fisik lainnya (Ridwan Harrianto, 2010).
Bahaya kerja kimiawi, misalnya debu kerja yang berlebihan, atau bahaya kerja ergonomis, seperti meja kerja yang terlalu tinggi atau rendah, jangkauan yang jauh, bekerja dengan posisi jangggal, dll. Stresor mental atau emosional, dapat berupa kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan kodisi yang menyenangkan, misalnya suatu promosi dapat mengakibatkan timbulnya stres akibat perubahan posisi (Ridwan Harrianto, 2010).
Masalah-masalah dalam pekerjaan lainnya, seperti pindah bagian, menganggur, dan pensiun sering kali juga menimbulkan kerentanan untuk timbulnya gangguan-gangguan psikologis. Kondisi-kondisi lainnya, seperti terlalu banyak tugas, atau sebaliknya tidak diberi tugas, tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan tugas, atau atasan yang tidak menyokong dalam pelaksanaan tugas juga menjadi sumber konflik ditempat kerja (Ridwan Harrianto, 2010).
Stresor bersifat progesif. Respon individu dalammenghadapi stresor pun bergantung pada potensi pemahaman tentang nilai-nilai pemecahan masalah, pengalaman, dan daya penyesuaian dirinya. Suatu stresor tunggal dapat menjadi majemuk jika terjadi kegagalan elemen dari sistem penyokong emosi, misalnya jika mobil mogok dijalan pada saat menuju tempat rapat (Ridwan Harrianto, 2010).
Ø Tahapan Reaksi Tubuh
Dalam menghadapi stressor, manusia mengalami tiga tahapan reaksi tubuh, yaitu reaksi alarm, tahap kebal, dan tahap kelelahan (Ridwan Harrianto, 2010).
Ø Reaksi alarm (tanda bahaya)
Reaksi merupakan respon yang datang dengan cepat ketika manusia menghadapi suatu tantangan atau ancaman. Pada tahap ini, tubuh belum dapat beradaptasi terhadap pajanan ancaman bahaya (Harianto, 2010).
Terjadi mobilisasi dari sistem saraf otonom yang mencetuskan respon stres dalam bentuk respons perlawanan (fight) atau respons menhindar (flight) (Ridwan Harrianto, 2010).
Bermacam-macam sistem tubuh turut mengoordianasi kesiapsiagaan untuk bereaksi, mempengaruhi kejiwaan (sistem limbik), pengaturan sistem kardiovasikuler, pernapasan, ketegangan otot, dan aktivitas motorik yang halus (Ridwan Harrianto, 2010).
Ø Tahap kebal (resisten)
Reaksi alarm tidak dapat dijaga untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Pajanan yang berkepanjangan terhadap stresor akan menyebabkan individu menjadi kebal. Pada tahap ini sesungguhnya tubuh sudah dapat beradaptasi, ketika individu mengembangkan suatu strategi perjuangan untuk bertahan hidup dan membina daya perlawanan justru untuk merendam respons stresor yang telah dimulai pada tahap sebelumnya (Ridwan Harrianto, 2010).
Mekanisme penanggulangan ini ternyata dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan bagi perkembangan mental individu. Kenyataannya, individu cenderung untuk lebih baik dalam melaksanakan penanggulangan dengan cara yang cepat dari pada cara yang lebih lama dan mmencoba melarikan diri dari kondisi yang kurang menyenangkan. Sayangnya, cara penanggualangan yang cepat, walaupun paling mudah, biasanya tidak memedai karena dengan cara ini biasanya akan timbul masalah-masalah sekunder pada jangka panjang dalam bentuk menurunnya penampilan diri.
Pada tahap ini, individu sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan untuk mengidentifikasi cara-cara penanggulangan yang dapat mendorong dirinya untuk memahami keuntungan dari cara penanggulangan yang lebih lama.
Ø Tahap Kelelahan
Gejala fisik dari tahap awal kelelahan tampak sebagai perasaan lelah yang berlebihan, lemah, dan tidak memiliki daya. Tanda-tanda non-spesifik lainnya biasanya dalam bentuk pengelihatan kabur, rasa pusing, vertigo, tangan tremor, nyeri otot, palpitasi, napas terasa berat, nyeri dada, sesak napas atau gangguan pernapasan yang lain, gejala gangguan saluran pencernaan seperti rasa kering dimulut, rasa leher tercekik, mual atau muntah, konstipasi yang menahun, diare atau sakit perut yang melilit (Ridwan Harrianto, 2010).
Gejala emosi saat stres pada tahap kelelahan berhubungan dengan sindrom dpresi dan frustasi, manifestasinya dalam bentuk tangisan yang tak terkontrol, perasaan takut mati, tidak berani bicara didepan publik, mudah terkejut, tidak suka berteman atau bertemu keluarga atau menyalurkan hobinya, kurang perhatian pada hal-hal personal seperti olahraga, pakaian, dan makan, pada kasus-kasus yang ekstrem, individu dapat merusak diri atau percobaan bunuh diri, mudah marah, dingin dan kaku pada orang lain, serta diiringi perasaan bersalah yang berlebihan. Serangan panik dan gelisah dapat mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan sehingga akan menambah stres ditempat kerja karena gejala tersebut terlihat oleh teman-teman kerjanya (Ridwan Harrianto, 2010).
Difungsi mental pada tahap kelelahan tampak sebagai gangguan tidur, seperti sulit bangun tidur, bangun tidur terlalu dini yang disertai dengan mimpi buruk, hilangnya daya konsentrasi dan koordinasi. Hal ini mendorong timbulnya gangguan penampilan ditempat kerja dan kemampuan untuk mempertimbangkan suatu masalah, sehingga tidak jarang timbul perilaku negatif dalam memutuskan suatu masalah, sehingga tidak jarang timbul keragu-raguan dalam memutuskan suatu masalah (Ridwan Harrianto, 2010).
Ditempat kerja, tanda-tanda disfungsi mental biasanya lebih mudah tampak dari pada tanda-tanda gangguan fisik karena gejala tersebut berhubungan langsung dengan penampilan kerja dan dapat dirasakan dengan jelas oleh teman sekerja. Hal ini mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri dan gangguan kontrol individu sehingga makin mendorong penurunan penampilan dirinya. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan pemenang serta obat-obatan yang lain, merokok berlebihan sering kali menjadi solusi yang diambil oleh individu tersebut (Ridwan Harrianto, 2010).
Ø Stressor dan Hubungannya dengan Spesifikasi Pekerjaan
Stresor sering kali berhubungan langsung dengan sistem tugas, volume pekerjaan, lingkungan kerja, atau sebagai akibat ketidak harmonisan hubungan dengan individu lain ditempat kerja dan faktor-faktor budaya organisasi tempat kerja, beberapa stresor juga berhubungan pada identifikasi peranan seseorang diorganisasi tempat kerja (Ridwan Harrianto, 2010).
0 komentar:
Posting Komentar